WahanaNews.co.id | Asia disebut akan menghadapi tantangan ekonomi terbesar sebentar lagi. Bukan pandemi Covid-19, melainkan perang, China juga the Federal Reserve.
Hal itu dinyatakan oleh Bank Dunia, seperti dilansir detikcom dari CNN, Rabu (6/4/2022).
Baca Juga:
Setara Negara Maju, Pendapatan Per Kapita Jakarta Pusat US$50.000
Bank Dunia menyatakan, negara di Asia berpotensi menghadapi guncangan ekonomi besar pada tahun ini, yaitu karena Perang di Ukraina, perlambatan ekonomi China hingga kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
Bank Dunia juga memangkas prediksi ekonomi 2022 untuk Asia Timur dan Pasifik (East Asia and Pacific/EAP) dari 5,4% menjadi 5%. Mereka juga mengingatkan prediksi itu bisa jadi terus anjlok ke angka 4% bila kondisi itu terus memburuk, membuat 6 juta orang lebih akan masuk ke jurang kelaparan.
Hal itu juga membuat proyeksi ekonomi China menurun. Negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia itu diprediksi hanya akan tumbuh 5%, anjlok sangat jauh dibanding pada tahun lalu sebesar 8,1%.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
"Saat kawasan ini melewati badai Covid-19, tiga awan hitam menghantui ekonomi. Yang mana akan memperlambat pertumbuhan dan meningkatkan kelaparan," ujar pernyataan Bank Dunia.
Kenaikan suku bunga AS juga berpotensi memicu arus modal keluar negara-negara berkembang dan melemahkan kurs mata uang mereka.
Sementara itu, kebangkitan Covid di China, bisa memengaruhi ekspor regional. China mengalami lonjakan terburuk dalam kasus Covid-19 sejak wabah asli muncul di Wuhan pada tahun 2020, dan ini telah menyebabkan lockdown ketat di kota-kota besar.
Pihak berwenang di Shanghai, rumah bagi pusat keuangan negara dan pelabuhan peti kemas terbesar di dunia, memberlakukan lockdown bertahap pada 25 juta penduduknya pekan lalu.
Pembatasan telah menyebabkan toko-toko dan restoran ditutup, pabrik ditutup, dan pelabuhan menjadi padat dengan kapal.
Guncangan lainnya berasal dari perang di Ukraina bisa mengganggu pasokan komoditas dan meningkatkan tekanan keuangan.
"Perang dan sanksi kemungkinan akan meningkatkan harga pangan dan bahan bakar internasional, merugikan konsumen dan pertumbuhan," katanya, seraya menambahkan bahwa jumlah orang miskin di Filipina, misalnya, dapat meningkat sebesar 1,1 juta jika harga sereal naik 10% dari tahun sebelumnya. [JP]