WahanaNews.co.id | Perdana Menteri Inggris Boris Johnson hari Kamis (14/04) mengumumkan serangkaian kebijakan baru memerangi pendatang ilegal, termasuk kesepakatan dengan Rwanda untuk melakukan "outsourcing proses aplikasi suaka".
"Mulai hari ini ... siapa pun yang memasuki Inggris secara ilegal serta mereka yang tiba secara ilegal sejak 1 Januari lalu, sekarang dapat dipindahkan ke Rwanda," kata Boris Johnson. "Rwanda akan memiliki kapasitas untuk memroses ulang puluhan ribu orang di tahun-tahun mendatang," tambahnya.
Baca Juga:
Serangan Udara Israel Picu Gelombang Pengungsian Massal di Lebanon
Boris Johnson mengatakan, Rwanda adalah "salah satu negara teraman di dunia" dan "diakui secara global karena catatannya dalam menyambut dan mengintegrasikan para migran."
Pemerintah Rwanda hari Kamis mengumumkan, menteri dalam negeri Inggris, Priti Patel, telah menandatangani kesepakatan tersebut dengan negara Afrika timur itu.
"Para imigran nantinya akan disebar di seluruh Rwanda, dan boleh menetap selamanya di negara Afrika itu jika mereka menghendakinya", kata jubir pemerintah di Kigali.
Baca Juga:
JPU Aceh Besar Dakwa Tiga WNA Selundupkan 134 Imigran Rohingya ke Aceh
Kritik UNHCR: "Diperdagangkan seperti komoditas"
Rencana itu menuai kritik keras dari partai-partai oposisi maupun organisasi pembela hak asasi manusia. Partai Buruh mengatakan itu langkah mahal, gampang jadi lahan pemerasan dan "tidak etis".
Badan urusan pengungsi dan kemanusiaan PBB, UNHCR, juga menyuarakan penentangan. "Orang-orang yang melarikan diri dari perang, konflik dan penganiayaan pantas mendapatkan perhatian dan empati. Mereka tidak boleh diperdagangkan seperti komoditas dan dipindahkan ke luar negeri untuk diproses," kata Asisten Komisaris Tinggi UNHCR, Gillian Triggs.
Organisasi hak asasi Human Rights Watch (HRW) mengatakan, Rwanda tidak menghormati beberapa hak asasi manusia yang paling mendasar. "Pengungsi telah dianiaya di Rwanda dan pemerintah, kadang-kadang menculik pengungsi Rwanda di luar negeri untuk membawa mereka pulang menghadapi persidangan dan perlakuan buruk," kata Lewis Mudge, direktur HRW Afrika Tengah.
Inggris bayar 120 juta poundsterling sebagai kontribusi awal
Boris Johnson membela rencana tersebut terhadap kritik dari kelompok-kelompok hak asasi, dengan mengatakan: "Kami yakin bahwa Kemitraan Migrasi baru ini sepenuhnya sesuai dengan kewajiban hukum internasional kami." Pemerintah Inggris akan memberikan kontribusi awal 120 juta pound (sekitar 2,26 triliun rupiah).
Menteri Luar Negeri Rwanda Vincent Biruta mengatakan, sejarah Rwanda baru-baru ini telah menunjukkan "hubungan yang mendalam dengan penderitaan mereka yang mencari keselamatan dan peluang di negeri baru". Rwanda telah menerima hampir 130.000 pengungsi dari berbagai negara, termasuk Republik Demokratik Kongo, Burundi, Afghanistan dan Libya", tambahnya.
Para migran akan ditempatkan sementara di Kigali, umumnya di hostel atau hotel, sementara permohonan suaka mereka diperiksa, kata juru bicara pemerintah Rwanda Yolande Makolo kepada kantor berita Reuters. "Setelah klaim mereka diputuskan, mereka akan difasilitasi untuk berintegrasi ke dalam masyarakat," katanya.
Kelompok-kelompok hak asasi, termasuk HRW, menuduh pemerintah Rwanda terlibat dalam banyak pelanggaran hak asasi manusia, termasuk seringnya "penahanan sewenang-wenang, perlakuan buruk, dan penyiksaan di fasilitas penahanan resmi dan tidak resmi" dari wakil oposisi.
Outsourcing pemrosesan suaka ke negara lain yang dilakukan pemerintah Inggris mengambil contoh pada proses serupa yang sudah dilakukan di Australia, yang juga banyak dikritik oleh organisasi hak asasi manusia dan PBB. [JP]