WahanaNews.co.id | Sebuah fenomena flexing kemewahan demi hempas stigma 'tak laku' lagi tren di Cina. Wanita yang masih lajang di usia 27 tahun ke atas kerap mendapatkan stigma sosial dalam budaya China. Bahkan mereka disebut sheng nu atau yang berarti 'perempuan sisaan'.
Namun kini banyak wanita China mencoba melawan stigma tersebut. Belakangan ramai unggahan wanita memperlihatkan kehidupan mereka yang mewah dan glamor di media sosial, bukan sekadar flexing, tapi untuk menunjukkan bahwa berstatus lajang di usia matang bukanlah akhir dunia.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
"Seperti apa kehidupan seorang wanita berusia 40 tahun yang belum menikah dan tidak punya anak?" tulis seorang wanita dengan nama akun Mini di unggahan foto Xiaohongshu, media sosial berbasis foto mirip Instagram.
"Umur 41, belum menikah, dan tidak punya anak. Memperkaya hari-hari," tulis akun lainnya yang juga mengunggah foto dirinya berbusana rapi sambil menenteng tas dari brand high-fashion.
Keputusan mereka 'flexing gaya mewah' di media sosial karena ingin menunjukkan bahwa kini status perkawinan tidak terlalu penting. Hal paling utama adalah menjadi individu yang berdaya dan berkualitas.
Baca Juga:
Jaksa Agung Minta Jajaran Jaga Sikap dan Penampilan, Larang Tato hingga Jenggot
"Saya ingin jadi sumber inspirasi untuk wanita lajang lainnya," ujar Mini seperti dilansir detikcom dari Insider.
Dia menambahkan, "Saya ingin menunjukkan hanya karena kamu lajang bukan berarti tidak bisa menjalani hidup yang memuaskan dan indah. Orang-orang selalu bilang kalau wanita lajang berusia matang tidak diminati atau kelompok yang tidak berguna di lingkungan sosial. Saya mau menunjukkan bahwa anggapan tersebut sangat jauh dari kenyataan."
Mini bukan satu-satunya wanita yang punya pola pikir seperti itu. Kini makin banyak wanita China memanfaatkan media sosial untuk memperlihatkan bahwa mereka tetap bisa menjalani hidup dan bersenang-senang meskipun usia tak lagi muda dan belum menikah.
Tren ini pun mengindikasikan ada perubahan pandangan dalam mendefinisikan wanita sukses, meskipun belum secara mayoritas. Bagi mereka, kesuksesan tidak harus melibatkan punya suami atau tidak.
"Menurut saya stigma terhadap wanita berstatus single belum sepenuhnya hilang di China, tapi jelas ada pengentasan (stigma) yang dilakukan oleh para wanita mandiri dan sukses secara sosio-ekonomi," terang Sosiolog Mu Zheng, dari National University of Singapore.
Fenomena maraknya kemunculan wanita mandiri, kaya dan sukses di media sosial kemudian melahirkan istilah baru; she-conomy. Istilah ini muncul untuk mendeskripsikan peran wanita dalam perputaran ekonomi di China.
Berdasarkan laporan Accenture, sebuah perusahaan penyedia jasa investasi, wanita China berusia 20 hingga 60 tahun memiliki daya beli cukup tinggi hingga triliunan rupiah per tahun. Tingginya daya beli tersebut membuat makin banyak wanita di Negeri Tirai Bambu mempertimbangkan lagi jalan hidup yang mereka pilih, khususnya pemikiran tradisional untuk segera menikah dan berkeluarga.
"Tetap melajang kini jadi keputusan yang dipikirkan secara matang, bukan karena keadaan dan terpaksa," pungkas Mu Zheng. [JP]