WahanaNews.co.id | Gajah-gajah koleksi taman hiburan di Bali jadi sorotan media asing lantaran kekurangan gizi. Satwa-satwa besar itu dilaporkan terlihat seperti tersisa tulang dan kulit.
Gajah-gajah yang nasibnya menyedihkan itu merupakan koleksi Bali Elephant Camp (BEC), sebuah taman hiburan bergaya safari di dekat Ubud.
Baca Juga:
Zimbabwe dan Namibia Terpaksa Bantai Ratusan Gajah untuk Atasi Krisis Pangan
Kondisi itu terjadi setelah BEC terpaksa tutup karena pandemi COVID-19. Staf BEC juga bekerja tanpa bayaran karena penjualan tiket anjlok.
"‘Just skin and bones’: Bali elephants left to starve ['Hanya kulit dan tulang': Gajah Bali dibiarkan kelaparan]," tulisAl Jazeera,media internasional yang berbasis di Qatar, dalam judul laporannya.
"New pictures show the state of elephants in Bali amid the pandemic [Gambar baru menunjukkan keadaan gajah di Bali di tengah pandemi]" bunyi judul media Australia, news.com.au, dalam laporan panjangnya, Jumat (8/10/2021).
Baca Juga:
Penggerakan Tim BKSDA Aceh dalam Penghalauan Gajah Perusak Rumah dan Kebun Penduduk
Pada tahun 2005, BEC bergabung dengan program konservasi satwa liar yang dijalankan oleh Departemen Kehutanan yang mempercayakan kebun binatang swasta dan taman safari di Indonesia untuk merawat gajah Sumatra yang terancam punah.
Sebuah studi tahun 2007 oleh Federasi Margasatwa Dunia menemukan hanya ada 2.400 hingga 2.800 gajah Sumatra yang tersisa di alam liar, dan jumlahnya sekarang diperkirakan berkurang setengahnya akibat perburuan gading, konflik manusia-gajah, dan penggundulan hutan.
Antara tahun 1980 dan 2005—setara dengan hanya satu setengah generasi gajah—67 persen dari potensi habitat gajah Sumatra hilang.
Gajah untuk taman dan kebun binatang bersumber dari pusat penangkaran yang didirikan 30 tahun lalu di Sumatra untuk membantu menstabilkan spesies yang menghilang dengan cepat.
Sebagai imbalan untuk memberi mereka rumah, bisnis terakreditasi diizinkan untuk menjual layanan wisata gajah yang sangat menguntungkan sebelum pandemi. BEC mengenakan biaya USD230 (Rp3,2 juta) untuk naik gajah selama setengah jam untuk dua orang.
Kelahiran tiga bayi gajah selama 15 tahun terakhir menunjukkan BEC tidak hanya memenuhi tetapi juga melebihi persyaratan kesejahteraan hewannya.
“Teman-teman kami di konservasi mengatakan kami memiliki beberapa gajah paling sehat dan paling bahagia yang pernah mereka lihat!” bunyi informasi di situs web perusahaan yang masih aktif.
Tetapi foto-foto yang diambil oleh seorang dokter hewan di taman itu pada bulan Mei lalu, menunjukkan beberapa gajah yang sangat kekurangan gizi.
“Anda tidak dapat membayangkan seekor gajah kurus sampai Anda melihatnya,” kata Femke Den Haas, seorang dokter hewan asal Belanda yang telah bekerja untuk melindungi satwa liar di Indonesia selama 20 tahun.
"Mereka adalah hewan besar dan Anda tidak dimaksudkan untuk melihat tulang mereka," ujarnya.
“Tapi itulah mereka—hanya kulit dan tulang.”
Hass mengunjungi kamp tersebut sebagai mitra BKSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) Bali, badan pemerintah yang mengawasi taman safari dan kebun binatang di pulau yang mengadopsi gajah Sumatra.
“Banyak industri di Bali yang ambruk akibat pandemi COVID-19,” kata Dr Agus Budi Santosa, Direktur BKSDA.
“Tapi dampaknya terhadap perusahaan kecil seperti Bali Elephant Park sangat parah. [Ketika pariwisata berhenti], mereka tidak mampu lagi menutupi biaya operasional, terutama biaya pakan gajah. Pemerintah harus membantu mereka dengan membayar makanan dan listrik.”
Nomor telepon BEC sudah tidak aktif. Namun pada bulan Juli, perusahaan tersebut mengatakan kepada Bali Animal Welfare Association bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk merawat gajah tetapi berjuang untuk memenuhi biaya operasional bulanannya sebesar USD1.400.
Mereka menambahkan bahwa Departemen Kehutanan dan BKSDA belum menawarkan bantuan keuangan.
“Anda tidak bisa sebagai perusahaan mengatakan tidak ada pengunjung lagi jadi saya tidak merawat gajah lagi,” kata Hass.
"Itulah yang terjadi dan sangat menjijikkan karena gajah-gajah ini telah memberi mereka keuntungan selama 15 tahun. Jadi saya tidak percaya ketika mereka mengatakan mereka tidak punya uang. Gajah tidak terlalu mahal untuk dirawat. Biayanya USD200 sebulan untuk memberi makan satu.”
Hass mengatakan BEC juga meninggalkan stafnya tanpa bayaran.
"Mereka telah bertindak tidak bertanggung jawab tidak hanya terhadap hewan tetapi juga kepada karyawan yang menyerahkan hidup mereka untuk pekerjaan mereka. Ketika saya pertama kali sampai di sana, beberapa staf telah pergi dan yang lain masih di sana, bekerja secara gratis, mencoba mengurus gajah,” katanya. [gab]