WahanaNews.co.id | Dalam memaknai pasal hukuman mati bagi koruptor, Pakar Hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) Djoko Sukisno meminta agar hati-hati.
Djoko Sukisno menyatakan hukuman mati dibolehkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun para hakim/aparat penegak hukum harus mencermati pula penjelasannya.
Baca Juga:
Selama Januari-Juni 2024, Kejati Sumut Tuntut 44 Terdakwa Kasus Narkoba dengan Hukuman Mati
"Sebagaimana telah diketahui bahwa hukuman mati koruptor telah diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tersebut yang berbunyi 'Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan'. Karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut," kata Djoko kepada wartawan, Selasa (7/12/2021).
Lebih jauh Djoko menjelaskan bahwa sebagaimana penjelasannya, yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata 'pengulangan' diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.
Baca Juga:
JPU Pasaman Tuntut Pidana Mati Terhadap Tiga Terdakwa Narkoba Sabu-Sabu di Sumbar
"Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya," ucap Djoko.
Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah di antara mereka ada yang residivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.
"Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Ingat, tempus delictia adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya," ungkap Djoko.
Sebagaimana diketahui, jaksa mengajukan tuntutan hukuman mati ke terdakwa Asabri, Heru Hidayat. Alasannya, Heru telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di kasus Jiwasraya. Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho mendukung tuntutan mati ke Heru Hidayat.
"Suatu upaya yang perlu diacungi jempol. Sebab secara teori kejahatan yang dilakukan memang pantas untuk dituntut pidana mati, sehingga kita tak ragu. Kejahatan ekstra harus dilakukan dengan penindakan extra. Sekarang tinggal pengadilan, hakim selaras tidak dengan langkah Kejagung?" kata Hibnu. (JP)