WahanaNews.co.id | Dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim, berbagai solusi dikemukakan, salah satunya adalah upaya meredupkan Matahari. Akan tetapi para ilmuwan ini teriak menentang karena menganggapnya berbahaya.
Secara teori, inti dari gagasan ini adalah memantulkan kembali cahaya Matahari ke angkasa dengan bahan kimia aerosol. Proses skala besarnya yang disebut solar geoengineering, mungkin akan digunakan seandainya di masa depan, terdapat area dengan luas signifikan di Bumi yang terlampau panas untuk ditinggali.
Baca Juga:
Viral Kemunculan 2 Matahari di Sumatera Barat, BMKG Beri Penjelasan
Nah, sebanyak 60 ilmuwan dan pakar kebijakan publik baru saja menandatangani surat terbuka yang meminta pemerintah untuk melarang solar engineering semacam itu.
"Kami meminta pemerintah dan PBB untuk mengambil kontrol politik yang efektif dan segera terhadap perkembangan teknologi solar engineering ini," kata mereka yang dikutip detikcom dari Futurism.
Mereka menyebut berbagai macam konsekuensi negatif seandainya teknik meredupkan Matahari diimplementasikan. Apalagi riset terhadap teknologi ini dipandang belum cukup memadai.
Baca Juga:
Tahun 2024 Indonesia Bakal Alami Hari Tanpa Bayangan, Simak Jadwalnya
"Dampaknya mungkin akan bervariasi di wilayah-wilayah, di saat pendinginan buatan ini akan lebih berimbas di beberapa area dibandingkan yang lain," papar mereka.
"Terdapat pula ketidakpastian tentang dampaknya pada pola cuaca regional, pertanian dan terhadap kebutuhan mendasar pada makanan dan minuman," tambah mereka.
Dicemaskan juga bahwa justru yang akan mengalami dampak paling parah adalah para warga miskin. Terlebih, penerapan teknologi meredupkan Matahari mungkin susah dikontrol dan bisa jadi akan menguntungkan orang kaya saja.
Teknologi meredupkan Matahari ini memang didukung pentolan teknologi besar. Proyek menangkis sinar Matahari yang disebut sebagai Stratospheric Controlled Perturbation Experiment ini misalnya digagas oleh akademisi Harvard dan didanai sebagian oleh Harvard University Solar Geoengineering Research Program (SGRP), lembaga yang dimodali Yayasan Bill Gates.
Pertengahan tahun 2021 silam, uji coba pertama sempat direncanakan berlangsung di Swedia, untuk mengetahui apakah metode peneliti berhasil sesuai teori.
Dalam eksperimen ini, volume kecil bahan kimia aerosol akan dibawa oleh balon dan disebar di langit pada lokasi yang spesifik. Namun Harvard telah mengumumkan penundaan untuk memastikan lagi bagaimana dampak yang mungkin terjadi pada area uji coba secara lebih detail.
Balon yang dapat terbang tinggi itu awalnya direncanakan meluncur dari Esrange Space Station di Kiruna, Swedia. Gunanya untuk memastikan apakah bisa dilangsungkan uji coba menghalangi Matahari dalam skala yang lebih besar.
Balon yang dapat terbang tinggi itu awalnya direncanakan meluncur dari Esrange Space Station di Kiruna, Swedia. Gunanya untuk memastikan apakah bisa dilangsungkan uji coba menghalangi Matahari dalam skala yang lebih besar.
Namun baru-baru ini, dewan penasihat Harvard merekomendasikan menundanya sampai bisa diketahui dampaknya. "Hal ini kemungkinan akan menunda peluncuran platform itu sampai tahun 2022," sebut mereka.
Terlebih ada juga penolakan dari penduduk di lokasi uji coba, yaitu orang Saami, suku asli Swedia. "Ini melawan pandangan kami bahwa kita harus menghormati alam. Kam punya sikap sangat jelas bahwa kami tidak setuju dengan pengembangan geoengineering Matahari di Sapmi," kata Asa Larsson Blind, Vice Presiden Saami Council.
Beberapa ilmuwan memang menyebut uji coba menghalangi sinar Matahari ini berisiko merusak ekosistem. Hal itu juga telah diakui oleh tim Harvard sendiri sebelumnya. Menyebarkan bahan kimia ke orbit melawan hukum alam. Bisa jadi cuaca akan jadi sukar diprediksi, menyebabkan kekeringan yang pada gilirannya membuat pasokan bahan pangan tersendat. [JP]