WahanaNews.co.id | Amerika Serikat (AS) saat ini sedang mengalami inflasi yang tertinggi selama 40 tahun terakhir. Angka inflasi pada periode 2021 itu tercatat naik hingga 7%.
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan jika transisi inflasi di AS dan negara maju bisa berdampak ke Indonesia dalam waktu dekat.
Baca Juga:
Sekda Sulbar Ajak Pemerintah Daerah Perkuat Sinergi Kendalikan Inflasi di Wilayah
"Ada dua transmisi yakni hubungan perdagangan dan moneter. Dari sisi impor bahan baku maupun barang modal, harga di AS yang lebih mahal akan sebabkan produsen di Indonesia menanggung biaya produksi yang lebih tinggi. Ada disrupsi logistik yang membuat inflasi dari sisi impor meningkat cukup tajam," kata Bhima seperti dilansir detikcom, Selasa (1/2/2022).
Dia menjelaskan untuk produk seperti elektronik, otomotif sampai industri kimia farmasi terimbas naiknya biaya logistik dari AS ke negara lainnya termasuk Indonesia.
"Kenapa sekarang inflasi di Indonesia belum tinggi? Ya ini masalah waktu saja karena saat ini pemerintah masih menahan penyesuaian harga terutama BBM dan tarif listrik. Begitu tarif adjustment dilakukan wah bisa loncat inflasi nya," jelas Bhima.
Baca Juga:
BPS Sulawesi Barat Catat Inflasi Bulan ke Bulan 0,33 Persen Akibat Kenaikan Harga
Kemudian kedua transmisi dari sisi moneter. Kebijakan tapering off AS ikut mempengaruhi arus modal asing ke negara berkembang. Kalau rupiah menjadi melemah maka efek terburuk adalah imported inflation atau inflasi karena barang impor jadi lebih mahal, sementara daya beli tidak bisa ikuti kenaikan biaya tadi.
"Maka yang paling tertekan adalah kelompok masyarakat dengan pendapatan yang belum pulih. Efeknya bisa kemana mana termasuk kesempatan kerja terbatas sampai angka kemiskinan sulit turun ke level pra pandemi," jelas Bhima.
Karena itu, menurut dia masyarakat diimbau untuk tidak terlalu euforia dengan pemulihan ekonomi lalu belanja tidak terukur dan kurang hati hati.