WahanaNews.co.id | Presiden Joko Widodo mengakui ada12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat terjadi di Indonesia. Ia pun menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat itu terjadi dalam sejumlah peristiwa.
Jokowi menyebut dirinya telah membaca secara saksama laporan dari tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2022.
Baca Juga:
Sebutan 'Yang Mulia' bagi Hakim, Mahfud MD: Sangat Berlebihan
"Dengan pikiran yang jernih dan hati tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1).
Jokowi mengaku bersimpati dan berempati terhadap korban dan keluarga korban yang ditinggalkan. Oleh karena itu, kata Jokowi, pemerintah akan berupaya memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
"Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," ujar Jokowi.
Baca Juga:
Uang Rp 920 Miliar dan 51 Kg Emas di Rumah Eks Pejabat MA, Mahfud: Itu Bukan Milik Zarof!
Berikut daftar lengkap 12 pelanggaran HAM berat versi pemerintah:
1. Peristiwa 1965-1966
2. Peristiwa Penembakan misterius pada 1982-1985
3. Peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989
5. Peristiwa Penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999
8. Peristiwa Pembunuhan dukun santet pada 1998-1999
9. Peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999
10. Peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002
11. Peristiwa Wamena Papua pada 2003
12. Peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003
Pada kesempatan itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan pihaknya bersama Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat sudah menyelesaikan tugasnya. Hari ini, Mahfud menyampaikan laporan kepada Jokowi.
"Pada pokoknya diskusi publik dan masalah-masalah yuridis dan politik yang menyertai perdebatan mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sudah berlangsung lebih dari 23 tahun," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan pemerintah telah mengusahakan penyelesaian secara yuridis. Dia menyebut empat kasus yang sudah dibawa ke Mahkamah Agung semuanya bebas, karena tidak cukup bukti secara hukum acara.
"Penyelesaian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu juga mengalami jalan buntu karena terjadi saling curiga di tengah masyarakat," ujar Mahfud.
Karena itu, kata Mahfud, pemerintah mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.[zbr]