WahanaNews.co.id | Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pada hari Rabu bahwa Amerika Serikat sedang mempertimbangkan langkah-langkah tambahan apa yang harus diambil terhadap junta Myanmar dan mengatakan para pemimpin Asia Tenggara telah diundang untuk mengadakan pembicaraan pada pertemuan puncak dengan Presiden Joe Biden.
Hal itu disampaikan Antony Blinken dalam kunjungannya ke Malaysia. Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan, undangan KTT Presiden Biden akan dibahas dalam pertemuan ASEAN 19 Januari mendatang.
Baca Juga:
Lokasi Sempat Terdeteksi, 11 Warga Sukabumi Disekap di Wilayah Konflik Myanmar
"Kami sangat menantikan pertemuan puncak khusus dengan ASEAN tahun depan," kata Antony Blinken, dan menyebut ASEAN sebagai sangat "penting bagi arsitektur kawasan Indo-Pasifik".
Menlu AS Antony Blinken sebelumnya berkunjung ke jakarta dan menjanjikan komitmen AS untuk meningkatkan kerja sama pertahanan dan intelijen dengan mitra-mitranya di kawasan Indo-Pasifik sehubungan dengan "sikap dan tindakan agresif Cina".
ASEAN telah memimpin upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis di Myanmar, namun menyatakan frustrasi dengan "kemajuan yang lambat". Karena itu ASEAN tidak mengundang pemimpin militer Myanmar menghadiri pertemuan puncak yang digelar baru-baru ini.
Baca Juga:
Imbas Serangan Udara Junta Militer, 11 Warga Myanmar Tewas
"Penting dalam beberapa minggu dan bulan ke depan untuk melihat langkah-langkah tambahan apa yang dapat kita ambil secara individu maupun kolektif untuk menekan rezim agar mengembalikan negara ke jalur demokrasi," kata Blinken.
Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya telah memberlakukan sanksi terhadap kepemimpinan militer Myanmar. Selain membahas krisis di Myanmar, Blinken mengatakan usulan KTT AS- ASEAN juga diharapkan akan membahas isu-isu seperti pemulihan dari pandemi COVID-19, perubahan iklim, investasi dan infrastruktur
Militer Myanmar mengatakan AAPP bias dan menggunakan data yang berlebihan, dan ratusan tentara juga tewas dalam konflik itu.
Myanmar berada dalam sorotan sejak lebih dari 730.000 minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine pada Agustus 2017 setelah tindakan keras militer, yang menurut para pengungsi termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan. (JP)