WahanaNews.co.id | Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) mengungkapkan, selama pandemi Covid-19, tepatnya dalam tahun 2021, peningkatan kasus kasus kejahatan seksual, terutama melalui game online begitu siginifikan.
Asisten Deputi Pelayanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian PPPA, Robert Parlindungan Sitinjak menekankan, untuk itu, penyusunan peta jalan perlindungan anak di ranah daring atau roadmap child online protection kemudian menjadi fokus yang saat ini dikerjakan.
Baca Juga:
Pelaku Penjual Anak Kandung Rp15 juta di Tangerang Ditangkap Polisi
“Data yang ada pada kami, sistem informasi perlindungan perempuan dan anak, SIMFONI-PPA, di tahun 2021 selama 10 bulan saja sudah 11.149 kasus dibagi 10 jadi 1000-an kasus ya,” katanya di Mabes Polri seperti dilansir wahananews.co, Selasa (30/11/2021).
“Kekerasan terhadap anak dari jumlah itu 3500 anak laki laki jadi korban dan terbesar tentu anak perempuan 8712 menjadi korban untuk data per 4 November,” imbuh Robert.
Tindakan asusila melalui game online ini pernah terjadi 2019. Kekerasan seksual online kemudian disebut sebagai sextortion.
Baca Juga:
KPAI Sebut Terduga Pelaku Aniaya Balita Daycare Depok Langgar UU Perlindungan Anak
Adapun kejahatan seksual pada anak kembali terungkap, kali ini melalui game online Free Fire. Pelaku berinisial S telah ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka.
Tersangka telah melakukan hal asusila itu terhadap 11 anak perempuan. Belasan korban itu ada dalam kisaran umur 9-17 tahun yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan sebuah urgensi untuk orang tua untuk memperhatikan dan tidak mengabaikan aktivitas anak terkait internet atau perangkat selulernya.
“Korban itu berusia 9 tahun, jadi tentu ini usia yang masih sangat kecil mungkin juga tidak tahu di dunia internet ada kejahatan-kejahatan di dunia siber,” tutur Anggota KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, dalam kesempatan yang sama.
Kasus ini menunjukkan, tidak hanya konten media sosial yang dapat merusak anak. Namun, sebuah permainan daring juga dapat menjadi ranahnya.
Tidak hanya membuat anak menjadi korban, tapi juga dapat membuatnya dalam posisi sebagai pelaku dalam kejahatan dunia siber.
“Jadi ini tentu menjadi perhatian bahwa internet atau game itu sangat rentan melibatkan anak menjadi korban dalam berbagai kejahatan siber. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa memposisikan anak menjadi pelaku dalam kejahatan siber,” pungkasnya. (JP)