WahanaNews.co.id | PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN memerlukan investasi hingga US$ 600 miliar atau sekitar Rp 9.000 triliun untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sampai 2060.
EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, Edwin Nugraha Putra, menjelaskan, kebutuhan investasi ini berasal dari estimasi produksi energi mencapai 1.800 TWh sampai 2060.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Dari jumlah tersebut, PLN baru memenuhi sekitar 420 TWh dari pembangkit listrik yang sudah ada.
"Artinya ada gap energi sebesar 1.380 TWh dan ini akan diisi dengan pembangkit EBT dan memerlukan biaya investasi sekitar US$600 miliar atau Rp9.000 triliun," ujar Edwin di acara Economic Outlook 2022 bertajuk “Akselerasi Pembangunan Energi Nasional 2022”, Rabu (24/11/2021).
Edwin turut memaparkan, nantinya kapasitas pembangkit PLN dengan bantuan pembangkit EBT akan mencapai 99,2 GW.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Sementara, saat ini, kapasitas pembangkit PLN kurang lebih 63,3 GW.
Ia mengatakan, perusahaan setrum nasional telah memetakan sejumlah langkah untuk mengejar pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT.
Pertama, meningkatkan keberhasilan COD PLTP dan PLTA/PLTM dengan percepatan izin eksplorasi dan pembebasan lahan.
Kedua, program dediselisasi PLTD yang tersebar sebanyak 588 MW menjadi PLTS 1,2 GWp dan baterai.
Ketiga, pembangunan 4,7 GW PLTS dan 0,6 GW PLTB.
Keempat, implementasi co-firing biomassa pada PLTU dengan porsi rata-rata 10 persen untuk PLTU Jawa-Bali dan 20 persen untuk PLTU luar Jawa-Bali.
Kelima, pembangkit beban dasar setelah 2025 yang sebelumnya dirancang menggunakan PLTU batu bara akan diganti dengan PLT-EBT.
Keenam, menerapkan masa pensiun untuk PLTU berkapasitas 1,1 GW di Muarakarang, Priok, Tambaklorok, dan Gresik pada 2030.
"Kami juga ada rencana relokasi pembangkit dengan tujuan untuk memanfaatkan pembangkit yang utilitasnya rendah di sistem Jawa-Bali untuk meningkatkan reserve margin di sistem luar Jawa serta mengurangi biaya investasi pembangkit," tuturnya.
Di sisi lain, Edwin mencatat pertumbuhan konsumsi atau penjualan listrik di Indonesia meningkat tahun ini meski di masa pandemi Covid-19.
Bahkan, realisasinya sudah melebihi pertumbuhan pada 2019 atau sebelum pandemi.
"Di Oktober ini saja, sudah mencapai 22,6 TWh per bulan. Ini merupakan angka tertinggi dalam lima tahun terakhir, ini sudah tumbuh lebihi sebelum Covid," jelasnya.
Kendati begitu, ia mengatakan, realisasi pertumbuhan konsumsi ini tidak merata di setiap provinsi di Indonesia.
Tercatat, pertumbuhan konsumsi tertinggi ada di Riau mencapai 14,79 persen dan Bangka Belitung 11,57 persen, sedangkan yang terendah di Bali minus 6,58 persen.
Berdasarkan segmen, konsumsi ini didominasi oleh pelanggan dari sektor rumah tangga mencapai 95,31 GWh dengan nilai penjualan mencapai Rp96,66 triliun.
Konsumsi ini berasal dari aktivitas 74,83 juta pelanggan, sisanya berasal dari industri, bisnis, publik, sosial, dan lainnya. (JP)