WahanaNews.co.id | Pemerintah Jepang meningkatkan anggaran untuk pangkalan militer Amerika Serikat di wilayahnya sebesar lima persen. Menurut perjanjian terbaru yang diumumkan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken itu, Tokyo akan membayar 211 milyar Yen atau hampir Rp 26 trilyun setiap tahun, selama lima tahun mendatang.
Perjanjian baru ini "akan menginvestasikan sumber daya yang lebih besar untuk memperdalam kesiapan dan kemampuan interoperabilitas kita," kata Blinken dalam pembukaan pertemuan virtual antara pejabat pertahanan kedua negara, seperti dilansir detikcom Jumat (7/1).
Baca Juga:
Donald Trump Tunjuk Elon Musk Pimpin Departemen Efisiensi Pemerintah di Kabinetnya
"Sekutu kami tidak hanya harus memperkuat perlengkapan yang ada, tetapi juga mengembangkan teknologi baru," imbuhnya, antara lain merujuk pada sistem pertahanan terhadap peluru kendali hipersonik Cina dan Korea Utara.
Jepang tidak hanya membiayai gaji serdadu dan pegawai, tetapi juga membayar ongkos pengoperasian gedung di pangkalan-pangkalan militer AS.
Perjanjian lima tahunan antara kedua negara itu seharusnya diperpanjang pada 2020 silam. Namun perundingan dibekukan menyusul tuntutan bekas Presiden Donald Trump agar Jepang membayarkan kontrobusi yang lebih besar.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, mengatakan kepentingan AS adalah "mengembangkan peran dan misi kami agar sesuai dengan kemampuan Jepang dalam berkontribusi terhadap perdamaian dan stabiltas regional."
Jepang belum lama ini mencabut doktrin pasifis anti-perang dari dalam konstitusi. Sejak itu Tokyo giat merangkai aliansi dengan AS, dan baru-baru ini Australia, seiring menguatnya hegemoni Cina.
Situasi di kawasan saat ini kembali memanas menyusul kisruh dengan Taiwan. Negeri kepulauan yang oleh Cina diklaim sebagai wilayahnya itu membina hubungan erat dengan Tokyo dan Washington.
"Aksi provokatif Beijing meningkatkan ketegangan di Selat Taiwan, Laut Cina Timur dan Selatan," kata Blinken, sembari menyebut program peluru kendali Korea Utara sebagai "ancaman aktual" terhadap keamanan regional.
Seusai pertemuan, kedua pihak menerbitkan surat pernyataan bersama yang menentang "upaya Cina melangkahi tatanan hukum global," untuk melancarkan klaim teritorial di perairan Asia Pasifik.
AS dan Jepang juga mengungkapkan "kekhawatiran serius" terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di Xinjiang, Hong Kong, serta menyerukan "perdamaian dan stabilitas" di Selat Taiwan.
Menanggapi pernyataan tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, mengungkapkan reaksi Beijing digerakkan oleh "kekecewaan besar dan sikap oposisi terhadap tindakan AS, Jepang dan Australia, mencampuri urusan dalam negeri Cina."
"AS, Jepang dan Australia berbicara tentang kemerdekaan, keterbukaan dan toleransi, padahal faktanya mereka bersekongkol membentuk grup kecil, dan membidik negara lain, demi unjuk kekuatan, dan melakukan intimidasi militer," katanya, Jumat (7/1).
Kamis (6/1), Jepang dan Australia menandatangani perjanjian "tengaran" untuk memperkuat kerjasama pertahanan. Bulan lalu, Perdana Menteri Fumio Kishida mengumumkan rekor anggaran pertahanan baru sebesar USD 47.2 milyar atau hampir Rp 700 triliun. Kenaikan itu merupakan yang kesepuluh dalam satu dasawarsa terakhir. [JP]