WahanaNews.co.id | Dewan Pers menyebut hukuman pidana yang dijatuhkan kepada salah seorang jurnalis di Sulawesi Selatan terkait pemberitaan dugaan korupsi di Palopo sebagai sebuah penyimpangan komitmen kemerdekaan pers di Indonesia.
Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengatakan pihaknya sangat prihatin dan menyesalkan putusan pengadilan yang memvonis Asrul dengan kurungan tiga bulan penjara.
Baca Juga:
Dewan Pers Ungkap Dugaan Kampanye Hitam dan Pelanggaran Etika Jurnalistik di Pilkada 2024
"Dewan Pers berpendapat penyelesaian kasus pemberitaan atau karya jurnalistik dengan menggunakan undang-undang lain di luar UU Pers adalah sebuah penyimpangan terhadap komitmen untuk menjaga prinsip-prinsip kemerdekaan pers di Indonesia," kata Nuh dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/11).
Dalam kasus ini, Asrul dijerat pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Saat persidangan, jaksa menuntut Asrul satu tahun penjara.
Dewan Pers menilai, kasus yang dialami Asrul sejatinya merupakan kasus jurnalistik karena menyangkut pemberitaan.
Baca Juga:
PWI Gugat Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu Rp 100,3 Miliar
Oleh sebab itu, ia mengatakan semestinya seluruh pihak terkait dapat memahami dan menyelesaikan kasus tersebut melalui mekanisme yang tertuang dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
"Dimana merupakan lex specialis derogat legi generali dari Undang-undang lainnya terhadap kasus-kasus yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (27/11/2021).
Apalagi Nuh mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan penyidik terkait dan menjelaskan bahwa kasus tersebut termasuk dalam pelanggaran kode etik jurnalistik.
Sehingga mekanisme penyelesaian perkaranya harus melalui Dewan Pers.
Lebih lanjut, dalam peraturan Dewan Pers Nomor 5/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Nuh menjelaskan bahwa dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers harus diwakili oleh Penanggung Jawabnya.
Kendati demikian, dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, Penanggung Jawab hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan.
"Untuk itu perkara yang menyangkut jurnalistik yang dilakukan oleh seorang wartawan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan hukum," tuturnya.
Penyelesaian perkara yang menimpa Asrul, kata Nuh, juga dipastikan bakal menurunkan indeks demokrasi dan kemerdekaan pers di Indonesia.
"Dewan Pers berpandangan, wartawan atau perusahaan pers bukanlah pihak yang kebal hukum. Namun apabila yang dipermasalahkan dari wartawan atau perusahaan pers adalah kinerja jurnalistiknya, semestinya proses penyelesaiannya berdasarkan UU Pers Nomor 40/1999," pungkasnya.
Di samping itu, ia pun meminta agar seluruh perusahaan pers dapat menaati seluruh peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers.
Khususnya menyangkut kewajiban perusahaan pers untuk memiliki badan hukum Indonesia, memiliki penanggung jawab bersertifikat wartawan utama, memiliki wartawan bersertifikat, terdaftar di Dewan Pers, dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Sebelumnya, Muhammad Arsul divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Palopo. Ia diseret ke pengadilan karena memberitakan dugaan korupsi yang dilakukan Farid Judas Karim.
Arsul menulis tiga berita terkait korupsi itu pada April 2019.
Berita-berita itu berjudul "Putra Mahkota Palopo Diduga 'Dalang' Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M', "Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas", dan "Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas?". (JP)