WahanaNews.co.id | Kuasa hukum Heru Heru Hidayat merasa tuntutan dan tuduhan jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan. Kubu terdakwa kasus korupsi PT Asabri Heru Hidayat menilai tuntutan dan tuduhan jaksa penuntut umum (JPU) menyimpang dari dakwaan.
"Kami menyoroti mengenai tuntutan mati oleh JPU yang menyimpang. Sebab sejak awal JPU tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaannya, padahal jelas surat dakwaan adalah acuan dan batasan dalam persidangan perkara ini sebagaimana Hukum Acara Pidana," kata penasihat hukum Heru, Kresna Hutauruk saat membacakan pledoi dan nota pembelaan kliennya di Pangadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/12).
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya, Kejagung Sita Aset Tambang Heru Hidayat
Krensa menerangkan jaksa sama sekali tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam surat dakwaan Heru Hidayat.
Selain itu, kata Kresna, JPU secara jelas keliru dan salah memahami pengulangan tindak pidana dalam kasus yang melibatkan kliennya.
Dia menegaskan kasus Asabri terjadi sebelum Heru Hidayat dihukum pada perkara korupsi Jiwasraya.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya: Lahan Tambang, hingga Aset Pelabuhan Heru Hidayat Disita
"Jelas perkara ini bukan pengulangan tindak pidana," kata dia.
Kresna juga mengutip pendapat ahli dan pakar pidana dari berbagai kampus di mana tuntutan harus selaras dengan dakwaan.
"Kalau tuntutan mati tidak bisa diterapkan terhadap Pak Heru karena tidak pernah didakwakan JPU dan tidak termasuk kualifikasi pengulangan tindak pidana," tandas dia.
Lebih lanjut kata Kresna, jaksa juga keliru menuduh Heru Hidayat menikmati uang sebesar Rp 12 triliun lebih.
Dia melihat jaksa tidak pernah membuktikan adanya aliran uang sebesar itu kepada Heru Hidayat.
"Bagaimana mungkin Pak Heru menikmati uang sebesar itu kalau tidak ada aliran uangnya," ungkap dia.
JPU, kata dia, juga tidak tepat menuduh adanya kerugian negara sebesar Rp 22 triliun.
Dia menilai penghitungan itu dilakukan oleh ahli BPK yang hanya memperkirakan uang yang keluar dalam investasi Asabri.
Namun, kata dia, BPK tidak menghitung keuntungan atau uang masuk dalam investasi Asabri ini.
Apalagi, kata Kresna, jaksa dan BPK juga mengabaikan fakta sampai saat ini Asabri masih memiliki saham dan unit penyertaan reksadana periode 2012-2019.
Bahkan saham dan reksadana tersebut masih bernilai dan nilainya terus bergerak. "Jadi, jelas dalam perkara ini, Asabri belum menderita kerugian, kalaupun ada penurunan nilai investasi sifatnya masih potensial dan belum nyata sehingga jelas penghitungan kerugian negara tersebut tidak tepat dan keliru," tutur dia.
Tak hanya itu, kata Kresna, JPU sendiri dalam dakwaan dan tuntutannya, mengakui Heru Hidayat telah terbukti tidak pernah memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada pihak Asabri.
Hal ini, kata dia, terungkap dalam fakta persidangan kasus Asabri ini.
"Jelas tidak ada niat jahat dari Pak Heru ataupun pihak Asabri dalam perkara ini. Sebagaimana kami ketahui bersama, perkara Tipikor itu identik dengan suap atau gratifikasi, sedang dalam perkara ini Pak Heru terbukti tidak melakukan hal tersebut," tegas dia.
Oleh karena itu, Kresna mengharapkan Majelis Hakim mempertimbangkan pembelaan tersebut sehingga bisa memutuskan perkara secara adil. "Tentunya saat ini kami berharap Majelis Hakim dapat memutus perkara ini sesuai dengan koridor hukum dan fakta yang terjadi dalam persidangan ini sehingga menghasilkan putusan yang adil," pungkas Kresna. (JP)