WahanaNews.co.id | Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya M Haris Miftakhul Fajar MEng mengungkap penyebab erupsi Gunung Semeru pada Sabtu (4/12). Haris menyebut guguran material ini sebagian besar merupakan akumulasi hasil erupsi di hari-hari sebelumnya.
Erupsi ini berdampak hingga ke beberapa wilayah di sekitar yang tertutup material vulkanik. Diketahui, erupsi merupakan proses alami yang berkaitan dengan proses endogenik dan disebabkan ketidakstabilan dapur magma.
Baca Juga:
Gunung Semeru Kembali Erupsi, Tinggi Abu 700 Meter
Dosen Departemen Teknik Geofisika ini menyebut rekaman aktivitas seismik Gunung Semeru saat itu diketahui tidak menunjukkan adanya gempa karena erupsi yang besar. Namun, memang terekam data seismisitas akibat aktivitas guguran yang meningkat tajam dan adanya gempa erupsi intensitas kecil.
Sejak November lalu, data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mencatat adanya peningkatan aktivitas vulkanik berupa gempa erupsi Gunung Semeru.
"Maka, bersamaan dengan adanya peningkatan aktivitas erupsi, terindikasi pula adanya peningkatan jumlah material vulkanik yang terkumpul di sekitar kawah," papar Haris seperti dilansir detikcom, Kamis (9/12/2021).
Baca Juga:
Status Gunung Semeru Turun Jadi Level III Siaga, Warga Belum Boleh Mendekat
Tak hanya itu, penumpukan jumlah material di tudung Gunung Semeru ini mengakibatkan puncak semakin tinggi. Di sisi lain, ketidakstabilan lereng pun bertambah.
"Apalagi, material erupsi keluaran Gunung Semeru masih berupa material vulkanik yang tidak terkonsolidasi," ungkapnya.
Haris mengatakan karakteristik material itu juga mudah tergerus dan dapat mengakibatkan terjadinya runtuhan. Apalagi saat ini tengah terjadi cuaca ekstrem yang turut mendorong proses pengikisan semakin meningkat.
Hasilnya, di tengah hujan deras Sabtu (4/12) lalu, guguran material vulkanik berdampak sangat masif di beberapa lereng Gunung Semeru. Kejadian ini terlihat dari adanya hujan abu yang disertai awan panas guguran (APG).
Namun sebaliknya, masyarakat cenderung tidak merasakan getaran gempa erupsi Gunung Semeru saat peristiwa ini terjadi.
"Saat runtuhan terjadi, sebenarnya juga disertai dengan getaran. Tetapi, magnitudo getarannya kecil, sehingga tidak sampai terasa oleh warga sekitar," ungkap dosen kelahiran 1989 ini.
Meski kecil, getaran ini dapat ditangkap seismograf sebagai seismisitas guguran. Sementara, data seismograf berhasil mendeteksi adanya seismisitas akibat erupsi pada pukul 14.50 WIB dan di hari yang sama dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5.160 detik.
Haris menyebut dari sinilah terindikasi adanya erupsi yang berlangsung pascaterjadinya guguran material vulkanik akibat pengurangan tekanan di lapisan bagian atas Gunung Semeru.
"Erupsi ini terjadi pada skala kecil, dengan getaran seismisitas tidak terlalu dirasakan warga," tegasnya.
Material tersebut tetap menyimpan panas dengan suhu yang tinggi. Meskipun material runtuhan sebagian besar berasal dari endapan material vulkanik dari erupsi sebelumnya dan bukan material yang baru keluar akibat erupsi besar. (JP)