WahanaNews.co.id, Jakarta - Proyek Kereta Cepat Indonesia mengalami fenomena yang mungkin terjadi di Indonesia sebagaimana dialami oleh negara Taiwan.
Pengalaman Taiwan 5 tahun beroperasi kemudian akhirnya di nasionalisasi. Nombok terus tidak pernah break even, tidak bisa menutup biaya operasi setiap tahun dan akhirnya di nasionalisasi.
Baca Juga:
KAI Daop 5 Purwokerto Tegaskan Komitmen Keselamatan Operasional pada HUT Ke-79
Demikian disampaikan ekonom senior INDEF Faisal Basri, dalam seminar yang diselenggarakan secara hybrid di Universitas Paramadina dan dimoderatori oleh M. Ikhsan, Selasa (17/10/23).
"Nah Proyek Kereta Cepat indonesia juga kemungkinan besar dinasionalisasi, seluruh bebannya ditanggung negara. Karena investor enggak mau lagi, China akan keluar nantinya jadi nanti 100% milik Indonesia. Dan Indonesia bayar cicilannya terus-terusan gitu, diinjeksi terus dari APBN karena sudah di nasionalisasi." Papar Faisal.
Menurut Faisal transportasi utama masyarakat melakukan perjalanan ke Bandung bukanlah pesawat, melaikan kereta dan travel. Terlebih Bandung merupakan bukan pusat bisnis maupun kuliner, sehingga bukanlah urgensi untuk mempercepat proyek kereta cepat ini.
Baca Juga:
Rapimnas KAI 2024: Persiapan Menuju Kongres Besar Tahun Depan
"Kereta cepat memiliki keunggulan seperti jeda keberangkatan yang lebih singkat, tarif bersaing, kenyamanan, dan kapasitas penumpang yang tiga kali lebih banyak dibandingkan kereta api biasa." Katanya.
Faktanya ada 5 titik pemberhentian untuk kereta cepat Jakarta – Bandung. Dengan berbagai pertimbangan termasuk tidak optimalnya kecepatan kereta karena banyaknya pemberhentian, pemberhentian Karawang dan Walini dibatalkan. Tetapi menambahkan satu pemberhentian saja yaitu Padalarang.
"Stasiun Halim, Padalarang, dan Tegalluar tidak terdapat ditengah kota, sehingga menjadi tidak efektif. Keputusan ini bukan semata-mata proyek transportasi, pada awalnya proyek ini merupakan proyek properti." Imbuh Faisal.