Sementara itu, dari sisi inflasi justru akan mengalami kenaikan. Bank Dunia memperkirakan inflasi di negara-negara maju akan naik dari 3,9 persen ke 5,7 persen. Sedangkan di negara-negara berkembang akan mengalami tekanan inflasi dari 5,9 persen ke 8,6 persen.
Menurut Sri, kondisi tersebut tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit. Di berbagai belahan dunia sudah mengalami tekanan atau bahkan krisis pangan akibat kenaikan harga komoditas, seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara di mana mereka mengimpor 80 persen gandum yang berasal dari Rusia dan Ukraina.
Baca Juga:
Menkeu: Kemenkeu Dukung dan Berikan Bantuan Maksimal Kepada Seluruh K/L pada KMP
“Sekarang mereka menghadapi situasi tekanan terhadap suplai makanannya. Dan ini terjadi pada saat sesudah 2,5 tahun mengalami pandemi. Demikian juga dengan Sub-Sahara Afrika yang dalam hal ini juga mengalami tekanan akibat kenaikan harga-harga pangan,” lanjut Sri.
Oleh karena itu, pemerintah akan mempertimbangkan beberapa hal untuk dimasukkan di dalam desain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023.
Menurut Sri, dengan kenaikan inflasi dan pengetatan moneter, maka pemerintah juga akan mengalami tekanan dari sisi utang baik dari jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar.
Baca Juga:
Sri Mulyani Minta Pemangkasan 50% Anggaran Perjalanan Dinas, Ini Instruksinya
“Ini yang harus kita pertimbangkan sebagai bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap namun tetap berhati-hati,” ungkapnya. [JP]