WahanaNews.co.id | Ahli hukum tata negara Agus Riewanto menyatakan tegas penundaan pemilu menjadi mimpi buruk bagi demokrasi. Sebab bila hal itu terjadi, maka junta militer berkuasa.
"Pada akhirnya yang akan mengambil peran adalah TNI dan Polri yang dapat mengarah pada anti-demokrasi dan junta militer," kata Agus Riewanto seperti dilansir detikcom, Minggu (27/2/2022).
Baca Juga:
Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Abdul Faris Umlati, ARUS Terus Melaju
Menurut dosen UNS Solo itu, dalam perspektif hukum tata negara tidak terdapat peraturan perundangan-undangan/kekosongan hukum (vacuum of rechts) yang mengatur penundaan Pemilu baik level UUD 1945 maupun UU Pemilu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22E Ayat (1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan dalam Pasal 167 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu juga dinyatakan Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali untuk memilih Presiden,Wapres, DPR, DPD dan DPRD.
"Maka berdasarkan UUD 1945 jadwal pemilu itu sudah pasti, karena itu jabatan Presiden, Wapres, anggota DPR, DPD dan DPRD hanya dijabat selama 5 tahun setelah itu diadakan Pemilu lagi sebagai mekanisme pergantiannya," ucap Agus.
Baca Juga:
Debat Terakhir Pilgub Sultra 2024 Fokus pada Isu Lingkungan
Selain itu, penundaan Pemilu 2024 tidak otomatis jabatan Presiden, Wapres, anggota DPR, DPD dan DPRD diperpanjang. Karena tidak terdapat ketentuan ketatanegaraan yang mengatur tentang bagaimana cara memperpanjang masa jabatan legislatif dan eksekutif pasca masa jabatannya berakhir.
"Selain itu, juga tidak terdapat lembaga negara berwenang untuk dapat memperpanjang masa jabatan," bebernya.
Di sisi lain, penundaan Pemilu 2024 tidak otomatis pula menghentikan masa jabatan kepala daerah. Akan tetapi, para kepala daerah ini tidak akan efektif bekerja karena tidak didukung oleh DPRD yang masa jabatannya berakhir.