"Maka jalannya pemerintah daerah akan bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah karena yang disebut pimpinan pemerintah daerah itu adalah kepala daerah dan DPRD," ujar Agus Riewanto.
Tidak hanya itu, penundaan Pemilu 2024 akan dapat berpotensi mengganggu jalannya pemerintah daerah dan pemerintahan pusat. Juga akan berdampak pada krisis pemimpinan politik nasional dan daerah.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Abdul Faris Umlati, ARUS Terus Melaju
"Karena pemerintah pusat tanpa memiliki presiden dan DPR serta DPRD. Pemerintahan daerah juga tidak memiliki DPRD karena mereka telah berakhir masa jabatannya," kata Agus Riewanto mewanti-wanti.
Yang lebih mengerikan, kata Agus, jika di pemerintah pusat dan daerah mengalami krisis kepimpinan politik, maka pertanda jalannya agenda bernegara berhenti dengan sendirinya dan akan mendorong pada anarki dan chaos dan disintegrasi bangsa.
"Pada akhirnya yang akan mengambil peran adalah TNI dan Polri yang dapat mengarah pada anti demokrasi dan junta militer," kata Agus Riewanto serius.
Baca Juga:
Debat Terakhir Pilgub Sultra 2024 Fokus pada Isu Lingkungan
Oleh sebab itu, jika para elit politik tetap ngotot mengusulkan penundaan pemilu 2024, aka perlu konsensus bersama seluruh elemen bangsa. Jalan keluarnya agar penundaan Pemilu konstitusional maka harus melalui perubahan (amandemen) UUD 1945.
"Dalam hukum tata negara terdapat 2 model amandemen konstitusi," kata Agus Riewanto mengulas.
Pertama, melalui jalur formal, yakni sesuai ketentuan Pasal 37 UUD 1945 melalui usul DPR dan disetujui oleh MPR. Dengan menambah pasal baru 'Penundaan Pemilu karena faktor-faktor negara dalam keadaan darurat'. Jalur ini dipastikan penuh onak dan duri dan tak mudah karena harus melalui kesepakatan partai-partai politik dan aspirasi masyarakat yang luas.