WahanaNews.co.id | Kanselir Olaf Scholz pada hari Rabu (4/5) secara terbuka kembali membahas perselisihan diplomatik antara Jerman dan Ukraina yang dipicu oleh penolakan dari Kiev terhadap rencana kunjungan Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier pada pertengahan April lalu.
Scholz berada di bawah meningkatnya tekanan publik untuk mengunjungi Kiev. Namun, ia mengatakan bahwa penghinaan terhadap perwakilan tertinggi Jerman telah mencegahnya melakukan kunjungan.
Baca Juga:
Thomas Muller Resmi Pensiun dari Tim Nasional Jerman Setelah 14 Tahun Berkarier
Berbicara kepada wartawan bersama Wakil Kanselir Robert Habeck (Partai Hijau) dan Menteri Keuangan Christian Lindner (Partai FDP) setelah rapat kabinet tertutup di Istana Meseberg, Jerman, Kanselir Scholz (SPD) menyebut perlakuan Ukraina terhadap Steinmeier sebagai "masalah bagi pemerintah Jerman, juga untuk orang-orang Jerman."
Meski tidak secara eksplisit menuntut permintaan maaf, Scholz mengatakan bahwa para pemimpin di Ukraina harus merenungkan apa yang bisa mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Scholz tidak membahas masalah ini lebih lanjut dengan mengatakan bahwa dia tidak tertarik untuk melontarkan kritik karena merasa langkah itu tidak akan produktif.
Dubes Ukraina untuk Jerman dinilai 'tidak membantu'
Baca Juga:
Euro 2024: Slovenia vs Serbia Berakhir Imbang 1-1
Masalah penolakan ini terus menjadi berita utama di Jerman. Duta Besar Ukraina untuk Jerman, Andriy Melnyk, juga dilaporkan berulang kali melontarkan penghinaan di ranah publik terhadap Steinmeier dan Scholz.
Aksi Dubes Ukraina ini ditanggapi oleh Wolfgang Ischinger, Presiden Dewan Yayasan Konferensi Keamanan München yang juga adalah mantan duta besar Jerman untuk Amerika Serikat (AS). Ischinger mengeluarkan tweet yang mengingatkan Melnyk bahwa dia berisiko merugikan negaranya dengan mengeluarkan sentimen-sentimen kuat seperti itu.
Ischinger kembali mengutip kata-katanya sendiri kepada Richard Grenell, Duta Besar AS yang ditunjuk Donald Trump untuk Jerman. Saat itu Grenell berulang kali membuat marah tuan rumahnya di Berlin dan publik Jerman lewat ucapan yang sering tidak diplomatis.
Pada hari Selasa (03/05), politisi dan pemimpin komite pertahanan parlemen Jerman dari Partai FDP, Marie-Agnes Strack-Zimmermann, menyarankan Melnyk untuk "meminta maaf kepada presiden dan kemudian dengan sopan mengundang kanselir ke Kiev."
Dalam beberapa pekan terakhir, Melnky dipertanyakan atas nada kasarnya di televisi Jerman. Saat itu ia mengatakan bahwa bagi negaranya yang tengah dilanda perang dan sedang berjuang mempertahankan eksistensinya, waktu untuk mematuhi norma-norma diplomatik telah lama berlalu.
Namun sentimen publik Jerman tampaknya berpihak kepada Kanselir Scholz. Sebuah jajak pendapat yang digelas YouGov baru-baru ini menemukan bahwa 49% orang Jerman setuju dengan keputusan kanselir untuk tidak melakukan perjalanan ke Kiev atas penghinaan terhadap Steinmeier. Sedangkan 32% mengatakan dia bertindak tidak tepat atau sangat tidak tepat, 19% tidak berpendapat.
Jerman dikecam karena dinilai lambat mengirimkan senjata berat ke Ukraina. Namun negara ini juga adalah donor utama bantuan kemanusiaan dan telah menerima lebih dari 400.000 pengungsi Ukraina. Pada Senin (02/05) Jeman mengatakan akan mendukung embargo Uni Eropa atas impor minyak Rusia ke Eropa.
Bagaimana awal gesekan antara Jerman dan Ukraina?
Gesekan pertama kali terjadi ketika Presiden Steinmeier berada di Polandia merencanakan perjalanan ke Ukraina bersama Presiden Polandia Andrzej Duda dan rekan dari Estonia, Latvia dan Lithuania sebagai tanda solidaritas Eropa kepada Ukraina.
Di sanalah dia mengatakan kepada wartawan bahwa meskipun dia bersedia untuk pergi, kehadirannya "tampaknya tidak diinginkan di Kiev." Ukraina mengutip hubungan dekat selama beberapa dekade antara Steinmeier dan Rusia sebagai alasan penolakan itu.
Sejak itu, masalah tersebut bukannya reda. Kanselir Scholz belakangan mengatakan dia tidak dapat melakukan perjalanan ke Kiev sampai masalah penolakan kunjungan kepala negara dapat diselesaikan.
Dari sini, terjadi kebuntuan yang lebih besar bagi pemerintah Jerman. Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock, misalnya, telah berencana mengunjungi Kiev, tetapi aturan protokol menuntut presiden untuk melakukan perjalanan terlebih dahulu.
Meskipun sebagian besar perannya bersifat seremonial, presiden dipandang sebagai perwakilan nonpartisan dari negara Jerman, dan sering kali menjadi suara pertama yang diharapkan untuk berbicara di saat krisis.
Pada hari Selasa, pemimpin oposisi Friedrich Merz melakukan perjalanan yang dipublikasikan ke Kiev, di mana ia bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy, Perdana Menteri Denys Shmyhal, Wali Kota Kyiv Vitali Klitschko dan beberapa politisi tingkat tinggi.
Setelah perjalanan itu, Merz muncul di televisi publik Jerman dan menyarankan Kanselir Scholz melakukan hal yang sama, "Anda tidak dapat melakukan pembicaraan semacam ini di telepon. Dan Anda tidak bisa lewat konferensi video. Anda harus melakukannya secara langsung." [JP]