WahanaNews.co.id | Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, putusan MK boleh didiskusikan dengan berbagai pendapat atau teori-teori, tetapi yang berlaku adalah amar putusan MK itu sendiri.
Mahfud lantas mengemukakan dalil usul fiqih yang juga berlaku dalam hukum peradilan secara universal yakni, hukmul hakim yarfaul khilaaf.
Baca Juga:
Soal Upah Minimum Sektoral, Presiden Prabowo Arahkan Perumusan Pasca Putusan MK
Putusan hakim yang inkrah itu berlaku mengikat dan menyelesaikan sengketa, terlepas dari adanya orang yang setuju atau tak setuju.
Diskusi-diskusi yang seperti itu bermanfaat untuk penguatan hukum tata negara ke depannya, terutama untuk menguatkan fungsi dan peran MK. Hal itu disampaikan Mahfud MD saat memberi pengantar pada webinar Forum Guru Besar Insan Cita (FGBIC) yang dilaksanakan secara daring, Minggu (5/12/21) malam.
FGBIC adalah forum kajian yang pada umumnya beranggotakan akademisi yang tergabung di dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Mahfud MD sendiri merupakan Ketua Dewan Pakar FGBIC.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Hadir sebagai narasumber dalam webinar itu pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dgn pembahas Susi Dwi Harjanti, Didin S. Damanhuri, Nurliah Nurdin, Ali Syafaat, dan dimoderatori oleh Nurul Baruzah.
"Putusan MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, tapi masih berlaku selama 2 tahun atau sampai diperbaiki. Itulah yang berlaku mengikat," kata Mahfud MD yang juga Ketua Dewan Pakar DPP Korps Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA).
Menurut mantan Ketua MK itu, diskusi-diskusi atau kritik teoritis atas putusan MK sangat diperlukan karena tiga hal. Pertama, untuk mengembangkan studi-studi hukum tata negara. Kedua, untuk memperluas pengenalan masyarakat terhadap eksistensi MK dalam ketatanegaraan di Indonesia. Ketiga, untuk memberi masukan atau kritik terhadap MK.
Mahfud MD yang juga guru besar hukum tata negara tersebut mengatakan pula teori yang paling tinggi di dalam hukum tata negara adalah teori keberlakuan hukum tata negara di suatu negara tidak harus ikut teori pakar atau yang berlaku di negara lain.
"Melainkan ikut apa yang ditetapkan oleh negara itu sendiri sesuai dengan resultante terkait poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan budaya) masing-masing," katanya. (JP)