WahanaNews.co.id | Menteri Keuangan Sri Mulyani berbagi cerita bagaimana mengelola APBN saat pandemi melanda Indonesia di awal Maret 2020 lalu. Saat itu APBN menghadapi tantangan karena penerimaan yang seret di saat pandemi, sementara biaya belanja melonjak untuk menangani krisis pandemi COVID-19 yang tengah melanda.
Pembiayaan lewat utang pun menjadi hal yang tak bisa dihindari. APBN sebagai instrumen keuangan negara menjadi satu-satunya yang bisa diandalkan untuk bisa menjaga denyut nadi kehidupan masyarakat dan negara tetap berjalan.
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
"Negara itu memang memiliki instrumen APBN untuk menghadapi situasi seperti itu." kata Sri Mulyani seperti dilansir detikcom, Jumat (10/12/2021).
Sri Mulyani bilang, salah satu fungsi APBN sebagai stabilisator harus bisa menjaga agar negara bisa tetap menjalankan tugasnya meskipun penerimaannya sedang terganggu. Terlebih negara harus memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat yang rentan karena pandemi yang sedang menyerang kesehatan dan ekonomi Indonesia.
"Waktu itu pemikirannya gimana ya pada saat penerimaan jatuh tapi kita harus melakukan tugas kita. Namun jangan sampai ini jadi alasan untuk timbulkan kebiasaan fiscal policy yang buruk, tidak bertanggung jawab." jelas Sri Mulyani.
Baca Juga:
Hadiri Rakornas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tahun 2024, Menkeu: Awal Sinergi yang Baik
Dengan kondisi ekonomi yang terpuruk, maka otomatis penerimaan negara juga berkurang. APBN sebagai instrumen keuangan negara yang punya fungsi stabilisasi harus mencari cara agar ekonomi bisa tetap berjalan meski penerimaan turun. Apalagi ada biaya tambahan untuk penanganan pandemi di sisi bantuan sosial. Untuk itu, pembiayaan lewat utang menjadi pilihan.
Rasio awal utang yang direncanakan sebesar 29,7% pada awal 2020 pun naik hingga 39,4% terhadap PDB karena adanya belanja penanganan COVID-19. Hal ini menyebabkan rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat 40,85%.
Sementara sejak Januari hingga Agustus 2021, pemerintah telah menarik utang Rp 550,6 triliun. Penarikan utang ini mencapai 46,8% dari target utang dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.177,4 triliun.
Ini jugalah yang akhirnya melahirkan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) menjadi undang-undang (UU). Dengan keputusan itu, maka DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran.
"Apakah itu harus dilakukan? Menurut saya ya iya lah, untuk bantu rakyat nggak ada pilihan. No choice. Apakah bisa dilakukan lebih baik? Pasti, makanya kita lakukan hati-hati. Gimana konsekuensinya dengan utang yang nambah? Ya kita harus kelola habis itu," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengaku keputusannya merombak APBN adalah hal yang tidak biasa. Apalagi keputusan sebesar ini dilakukan dengan kondisi pandemi yang membuat dia tidak bisa bertemu secara langsung dengan rekan kerja lainnya baik di pemerintah maupun DPR RI. (JP)