Awalnya, pada tanggal 1 Maret 2019, Dinas Kehutanan menerima surat permohonan pembebasan lahan dari masyarakat, yaitu dari FP dan CA untuk membebaskan lahan milik keluarga mereka (Ahli Waris H. AR) seluas 15.994 m² dengan bukti kepemilikan SHM Nomor 1986 seluas 3.027 m² atas nama CA, SHM Nomor 1982 seluas 4.417 m², SHM Nomor 1963 seluas 3.135 m² atas nama NL; dan SHM Nomor 1980 seluas 5.413 m².
Dari empat lokasi yang ditawarkan tersebut, hanya dua lokasi yang ditindaklanjuti proses pembeliannya, yaitu SHM Nomor 1986 seluas 3.027 m² dan SHM Nomor 1963 seluas 3.135 m² atau total seluas 6.162 m².
Baca Juga:
Kejati DKI Paparkan Asesmen Penerapan Pedoman Kejaksaan Terkait Penanganan Narkotika
Akan tetapi dalam pelaksanaan pembayaran pada tanggal 18 Juli 2019, Dinas Kehutanan tidak membayar kepada FP dan CA sebagai pihak pemilik tanah yang menawarkan tanahnya, tetapi dibayar kepada Ba senilai Rp 16.483.350.000,00 untuk dua lokasi tanah seluas 6.162 m² dengan bukti kuitansi Nomor 00512/SPP/20401000/VII/2019.
Harga tanah yang dibayarkan kepada Ba tersebut adalah senilai Rp 2.675.000,00/ m² atau 210% dari NJOP yang hanya senilai Rp 1.274.000,00/ m². Dimana persentasi perbandingan antara Kesepakatan dengan NJOP adalah 210 % atau kenaikan dari NJOP ke kesepakatan adalah 100,10%.
Diduga ada kerjasama dan kesepakatan terselubung dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau sebuah korporasi sehingga meski lokasi tidak pada Zona Pemakaman atau TPU (H.3) dan berada ditengah persawahan/rawa serta tidak memiliki akses jalan untuk menuju lokasi tanah karena hanya bisa dilalui dengan jalan kaki dan kendaraan roda dua proses pengadaan lahan tetap dilaksanakan sampai pembayaran ganti rugi senilai Rp 29.866.375.000,00. [JP]